Selain Dipukuli, 4 Pelajar Magelang Korban Salah Tangkap Dipaksa Kunyah Kencur dari Mulut ke Mulut

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Anggota Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, kembali mendampingi keluarga pelajar korban dugaan penyiksaan dan salah tangkap oleh anggota Polresta Magelang melapor ke Polda Jawa Tengah (Jateng). Keempat terduga korban, yakni IPO (15 tahun), AAP (17 tahun), SPRW (16 tahun), dan MDP (17 tahun), diciduk ketika aksi demonstrasi berujung ricuh pada 29 Agustus 2025 lalu. 

Sebelumnya Royan sudah mendampingi keluarga DRP, seorang pelajar berusia 15 tahun yang juga diduga menjadi korban salah tangkap dan disiksa anggota Polresta Magelang. Keluarga DRP melaporkan kasus dugaan salah tangkap dan penyiksaan ke Polda Jateng pada 16 September 2025. 

Royan mengungkapkan, bentuk penyiksaan yang dialami IPO, AAP, SPRW, dan MDP, tak jauh berbeda dengan yang dialami DRP. “Penyiksaannya polanya ada beberapa, seperti ditampar, ditendang di bagian perut, leher dipiting, rambut dijambak, lalu dipukul menggunakan alat bernama keling yang terbuat dari besi di bagian kepala. Ada juga yang diborgol, terus diinjak-injak, kepalanya ditendang beberapa kali, terus dicambuk pakai selang di bagian dada dan perut,” ucapnya ketika diwawancara di Mapolda Jateng seusai membuat laporan, Rabu (15/10/2025). 

Tak hanya itu, Royan mengatakan, anggota Polresta Magelang juga menerapkan metode penyiksaan lain, yakni memerintahkan anak-anak yang tertangkap pada 29 Agustus 2025 lalu untuk mengunyah kencur. “Jadi ada satu kencur, itu polisi menyuruh mereka mengunyah secara bergantian. Dari total 53 orang yang ada di dalam, ya berarti dari satu mulut ke mulut lain sebanyak 53 mulut,” ujarnya. 

Menurutnya, metode penyiksaan tersebut terbilang cukup berisiko. “Karena bagaimana ketika ada anak yang punya penyakit menular? Apakah polisi mau bertanggung jawab?” kata Royan. 

Dia menambahkan, selama proses penyiksaan, anak-anak yang terciduk dipaksa mengaku telah ikut berdemo. Padahal mereka, khususnya lima anak yang sudah diwakili oleh Royan, menyatakan tidak pernah berpartisipasi dalam demonstrasi. 

“Pun kalau ikut demonstrasi, perlu dibuktikan apakah memang mereka bagian dari yang melakukan perusakan. Yang harus ditindak kan orang yang melakukan perusakan. Orang demonstrasi tidak boleh dilarang,” kata Royan. 

Menurut Royan, keempat pelajar yang keluarganya baru saja melapor ke Polda Jateng ditangkap secara acak ketika anggota Polresta Magelang melakukan sweeping di sekitar Alun-Alun Kota Magelang dan Polresta Magelang. “Mungkin karena mereka nonton, mereka ada di sekitar tempat itu, akhirnya mereka ditangkap,” ucapnya. 

Dia mengungkapkan, proses pemeriksaan terhadap keluarga IPO, AAP, SPRW, dan MDP dimulai sekitar pukul 13:00 WIB dan tuntas pukul 16:00 WIB. “Tadi kita di SPKT sempat gelar perkara juga. Padahal kami sudah lampirkan foto luka dan rekam medis, tapi SPKT mengarahkan ke Krimum,” katanya. 

“Setelah beberapa dokumen yang kami lampirkan dan juga pemeriksaan kepada tiap orang tua, sifatnya masih aduan. Jadi dari mereka katanya masih akan mendalami lagi,” tambah Royan. 

Dia mengatakan, terdapat empat anggota Polresta Magelang yang dilaporkan, mereka berinisial AIS, A, H, dan T. Menurut Royan, AIS termasuk dalam jajaran pimpinan di Polresta Magelang. “Namun yang A dan H menurut kesaksian korban yang paling sering memukuli anak-anak,” ujarnya

Royan mengungkapkan, dia dan para orang tua terduga korban juga sempat mendatangi Bidpropam Polda Jateng. “Sama seperti kemarin (kasus DRP), kami juga dorong ada pemeriksaan secara etik,” ujarnya. Dalam kasus dugaan penyiksaan terhadap DRP, yang dilaporkan adalah Kapolresta Magelang dan Kasat Reskrim Polresta Magelang.

Read More

Baca Juga